Kedua tangan dengan jari jemari mungilnya terangkat keatas melambai-lambai mengikuti alunan suara musik sambil matanya tak lepas dari layar televisi, dimana beberapa penyanyi cilik sedang bernyanyi sambil menari.
Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek 2x. Anak ayam turun lah empat, mati satu tinggallah tiga.
Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek 2x. Anak ayam turun lah tiga, mati satu tinggallah dua.
Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek 2x. Anak ayam turun lah dua, mati satu tinggallah satu.
Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek 2x. Anak ayam turun lah satu, mati satu tinggal induknya.
Itulah lagu anak-anak yang menjadi favorit putri kecilku yang berjudul Tek Kotek Kotek. Dia akan betah berada di tempatnya jika diputarkan lagu tersebut. Seperti aku ketika masih anak-anak dulu, lagu tersebut juga sering sering aku nyanyikan bersama teman-teman sebayaku.
Tapi semakin sering aku mendengar lagu anak-anak yang bercerita tentang empat ekor anak ayam bersama induknya itu, aku merasakan ada suatu kejanggalan pada syairnya. Aku pikir sangat lucu dan aneh jika bunyi anak-anak ayam berkotek. Biasanya yang berkotek adalah induk ayam jika akan bertelur, sedangkan anak-anak ayam akan mengeluarkan bunyi mencicit.
Entah apa yang ada dalam pikiran dan imajinasi pencipta lagu tersebut saat menuangkannya menjadi syair lagu. Ia pasti tak berpikir panjang mencari induk ayam, mendengarkan dulu bunyinya, membandingkan antara bunyi anak-anak ayam dengan bunyi induk ayam. Untunglah syairnya tak berbunyi; anak ayam turun berkokok, karena sudah pasti yang bisa berkokok adalah ayam dewasa.
Semoga para seniman kita, terutama para pencipta lagu lebih memperhatikan bunyi syairnya. Apalagi lagu untuk konsumsi anak-anak. Jangan mentang-mentang lagunya untuk anak-anak, lalu syairnya dibuat terserah dengan pikiran; ah, anak-anak itu tak kan protes juga alias dapat dibodohi.
0 komentar:
Posting Komentar